Orientalisme dalam kajian ilmiah
Ketika di Barat terjadi renaissance, Timur mengalami kemerosotan karena pemimpinnya yang lemah dan mengalami kemerosotan moral. Kemudian pasukan Tartar menyerang Timur sehingga semua peradabannya dihancurkan. Akhirnya Barat mengalami kemajuan dan melakukan gerakan orientalisme dengan maksud mengkaji keilmuan Timur. Selain itu Barat mengadakan misi untuk menjajah Timur dari segala aspek khususnya dalam hal pemikiran.
Orientalisme dan oksidentalisme secara periodial kemunculannya memiliki tenggang waktu yang cukup lama. Orientalisme muncul ketika adanya ekspansi imperialisme di Eropa pada abad 17, sedangkan oksidentalisme muncul pada abad ke 20 pasca gerakan kemerdekaan Arab. Metode yang digunakan oleh orintalisme adalah rasialisme, historisme, nasionalisme dan paradigma riset positivism, sedangkan oksidentalisme berparadigma linguistik. Secara singkat, bahwa orientalisme adalah sebuah gerakan riset orang-orang Barat terhadap orang-orang Timur. Keilmuan Timur dikaji oleh Barat dengan sudut pandangnya. Demikian sebaliknya, oksidentalisme adalah gerakan orang-orang Timur yang mengkaji tentang keilmuan Barat dengan sudut pandang Timur yang sifatnya netral. Tidak seperti kaum orientalisme yang memiliki misi untuk merusak kebenaran dari khazanah keislaman. Tujuannya adalah merebut kembali ego Timur yang telah dirampas oleh Barat. Akar oksidentalisme dapat dilacak dalam relasi peradaban Islam dengan Yunani tepatnya pada era penterjemahan besar-besaran dinasti Abasiyah khususnya dalam kepemimpinan al-Makmun. Dalam era inilah Islam sebagai ego yaitu sebagai pengkaji dan the other (Barat) sebagai objek kajian.
Gerakan ini melalui beberapa fase penting. Pertama, fase tranferensi yang fokus kepada teks autentik Yunani. Kedua, fase tranferensi makna yang fokus kajiannya pada makna teks yang dikaji dengan menterjemahkannya kedalam bahasa Arab. Ketiga, fase anotasi yang terbagi menjadi tiga tahapan. Anotasi pertama fokus terhadap kata yang partikular kemudian membuat penafsiran baru atasnya; anotasi kedua fokus memasukkan konsep maknawi yang kemudian menyempurnakan konsep tersebut; anotasi ketiga memasukan wacana terhadap substansi dari konsep maknawi kemudian membuat konsep dari tema makna yang dikaji. Keempat, adalah fase peringkasan yang fokusnya kepada pada inti tema tanpa mengurangi atau menambahkan substansi tema. Fase kelima adalah fase mengarang yang fokus terhadap kebudayaan pengarang, sehingga kebudayaan luar tidak dapat masuk. Keenam, fase mengarang dengan memfilter dan memkomparasikan kebudayaan Barat dengan Timur. Ketujuh, fase kritik terhadap kebudayaan pendatang dengan menganalisis kebudayaan pendatang sesuai historisnya. Fase kedelapan adalah fase terakhir yang fokus kepada penolakan apapun kebudayaan dari luar Timur sehingga keautentikan kebudayaan atau pemikiran kembali kepada batas-batas asalnya
Pengaruh Orientalis dalam Studi Islam
Studi islam di Barat turut membentuk cara pandang sarjana-sarjana muslim lulusan universitas-universitas Barat terhadap Islam. Menurur Azyumardi Azra, ada dua pendekatan dalam mengkaji Islam, yaitu teologis dan sejarah agama-agama. Dari dua pendekatan itu, sejarah agamalah yang dominan dipakai oleh para pengkaji Islam di Barat berakar dalam beberapa disiplin tradisional.
Pertama, mereka yang berakar pada disiplin humaniora tradisional, mencakup fiologi, filsafat, sastra, dan sejarah. Kedua, berakar pada disiplin teologi, seperti sejarah kitab suci dan sejarah institusi-institusi agama. Ketiga, berakar pada ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi, bahasa dan psikologi. Dan keempat, berakar pada studi-studi kawasan yang menjadi satu titik tolak orientalisme yakni dunia Timur mengkaji Islam melalui pendekatan saintifik. Fenomena Islam dianalisis dengan teori ilmiah tertentu. Misalnya dengan pendekatan historis, sosiologis, psikologis dan sebagainya. Meskipun turut memberikan kontribusi dalam studi Islam, pendekatan tersebut menempatkan Islam sebagai fenomena empirik sensual, fenomena historik dan semata-mata kontekstual dengan mengabaikan segi tekstual sehingga menghilangkan bahkan menolak esensi Islam sebagai wahyu.
Azyumardi Azra menganalisis terdapat beberapa hal yang harus menjadi bahan pertimbangan terhadap studi yang dilakukan oleh orientalis. Pertama, kajian-kajian Barat terhadap Islam cenderung bersifat esensialis. Yakni menjelaskan seluruh fenomena masyarakat dan kebudayaan Islam. Contohnya, terdapat radikalisme kelompok-kelompok muslim tertentu di Timur Tengah, dipandang sebagai berlaku dan absah juga dalam masyarakat muslim di tempat lain. Kedua kajian-kajian tentang Islam di Barat dimotivasi oleh kepentingan-kepentingan politis, dengan menciptakan citra yang tidak benar dan distortif tentang Islam dan masyarakat muslim. Ketiga, kajian-kajian tentang Islam di Barat merupakan sebuah upaya untuk melestarikan kebenaran-kebenaran yang dicapai. Misalnya menggunakan kategori-kategori Marxis untuk menjelaskan perkembangan sejarah tertentu di kalangan kaum muslim, seraya menolak dan mengabaikan kategori-kategori Islam sendiri.
Kajian tentang orientalis sudah memiliki akar tradisi yang cukup panjang di dunia akademik Barat. Namun orientalisme yang sudah berkembang berpuluh-puluh atau bahkan ratusan tahun cenderung dijadikan sebagai alat ideologis Barat untuk melakukan hegemoni dan imperialisme baru terhadap dunia Timur terutama dunia Islam. Hal ini telah menimbulkan stigma di kalangan umat Islam bahwa apapun yang dikatakan sarjana Barat tentang Islam lalu dicurigai. Lebih dari itu, beberapa sarjana alumni IAIN yang mempeorleh kesempatan mengambil program lanjutan di perguruan tinggi Barat dalam bidang Islamic Studies ketika kembali ke tanah air seringkali dicurigai sebagai telah terpengaruh atau terkontaminasi oleh pemikiran orientalis. Karena citra orientalis yang dianggap tidak netral, maka banyak akademisi Barat yang mendalami Islam dan bergerak di dunia kampus lebih senang disebut sebagai Islamis, bukannya orientalis. Adanya orientalisme mengajarkan kita bagaimana kita berfikir kedepan dan kita dituntut untuk membentengi diri dari segala pengaruh bangsa Barat yang bisa dikatakan mereka adalah orang orang yang licik.
Referensi : Azyumardi Azra, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium BaruArkoun. Muhammade. Dkk., Orientalisme vis a vis Oksidentalisme, 2008, Jakarta: Pustaka FirdausAli Usman, Kebebasan dalam perbincangan filsafat, pendidikan dan agama, 2006, Yogyakarta: Pilar MediaTodd. Emmanuel., menjelang keruntuhan Amerika, 2006, Bekasi: Menara
