Jauh sebelum Islam ada, perihal poligami sudah terjadi dan pada zaman itu seorang suami dapat memiliki istri lebih dari empat bahkan ada yang memiliki istri hingga seratus.
Dengan datangnya islam, pada syari’at Nabi Muhammad SAW, poligami dibatasi maksimal empat orang.
Persoalan selanjutnya adalah, jika seorang suami melakukan poligami, bolehkah para istri dikumpulkan dalam satu kamar?
Untuk mejawab pertanyaan di atas mari kita kaji keterangan dalam kitab ASNAL MATHOLIB SYARAH ROUDLATUTTOLIBIN karya syeh ZAKARIYA AL-ANSHORI
وَعَلَيْهِ افْرَادُ كُلٍّ) مِنْهُنَّ (بِمَسْكَنٍ لَائِقٍ بِهَا وَلَوْ بِحُجُرَاتٍ تَمَيَّزَتْ
مَرَافِقُهُنَّ) كَمُسْتَرَاحٍ وَبِئْرٍ وَسَطْحٍ وَمُرَقًّى إلَيْهِ (مِنْ دَارٍ وَاحِدَةٍ) أَوْ خَانٍ وَاحِدٍ
[الأنصاري، زكريا، أسنى المطالب في شرح روض الطالب، ٢٣١/٣]
Dan Kewajiban suami terhadap setiap istri-istrinya memberi tempat tinggal yang layak (sesuai dengan kemampuan suami). Bentuk tempat tinggal itu bisa dengan satu rumah untuk tiap istri, atau berbentuk bilik (kamar/kavling) plus perlengkapannya.
فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ أَنْ يَجْمَعَهُنَّ بِمَسْكَنٍ وَلَوْ لَيْلَةً وَاحِدَةً إلَّا بِرِضَاهُنَّ لِأَنَّهُ يُوَلِّدُ كَثْرَةَ الْمُخَاصَمَةِ وَيُشَوِّشُ الْعِشْرَةَ
[الأنصاري، زكريا، أسنى المطالب في شرح روض الطالب، ٢٣١/٣]
Maka Haram hukumnya menyatukan semua isterinya dalam satu tempat meskipun hanya dalam satu waktu, karena hal itu bisa memicu percekcokan dan merusak hubungan satu sama lain. Kecuali bila ada keridloan di antara mereka.
قَوْلُهُ إلَّا بِرِضَاهُنَّ) إذَا جَمَعَهُنَّ بِمَسْكَنٍ وَاحِدٍ بِرِضَاهُنَّ كُرِهَ لَهُ وَطْءُ إحْدَاهُمَا بِحَضْرَةِ الْأُخْرَى لِأَنَّهُ دَنَاءَةٌ وَسُوءُ عِشْرَةٍ وَلَوْ طَلَبَهَا لَمْ تَلْزَمْهَا الْإِجَابَةُ وَلَا تَصِيرُ بِالِامْتِنَاعِ نَاشِزَةً
[الأنصاري، زكريا، أسنى المطالب في شرح روض الطالب، ٢٣١/٣]
Ketika para isteri rela disatukan dalam satu tempat oleh suaminya, makruh hukumnya bagi suami “menjima” salah satu di hadapan yang lain, Bahkan tidak termasuk nusyuz bagi istri yang menolak ajakan jima’ suaminya apabila jima’ itu dilakukan di hadapan isteri yang lainnya.
Tindakan/perlakuan suami seperti ini termasuk DANAA-AH = kekeji/kehinaan (prilaku) dan termasuk perlakuan yang jelek.
Kemudian hukum makruh itu apakah hanya sampai di situ?
Mari kita baca keterangan dalam kitab. TUKHFATUL MUKHTAJ FII SYARHIL MINHAJ WAHASYI SYARWANI karya IMAM IBNU HAJAR AL-HAITAMI
قَوْلُهُ وَيُكْرَهُ إلَخْ) ظَاهِرُهُ كَرَاهَةُ التَّنْزِيهِ وَبِهِ صَرَّحَ الْمُصَنِّفُ فِي تَعْلِيقِهِ عَلَى التَّنْبِيهِ اهـ مُغْنِي وَظَاهِرُ التَّعْلِيلِ الْآتِي أَنَّ هَذَا الْحُكْمَ لَا يَخْتَصُّ بِالزَّوْجَاتِ بَلْ يَجْرِي فِي زَوْجَةٍ وَسُرِّيَّةٍ وَفِي سُرِّيَّاتٍ فَلْيُرَاجَعْ (قَوْلُهُ مَعَ عِلْمِ الْأُخْرَى إلَخْ) بَلْ يَحْرُمُ إنْ قَصَدَ إيذَاءَ الْأُخْرَى أَوْ لَزِمَ مِنْهُ رُؤْيَةٌ مُحَرَّمَةٌ لِلْعَوْرَةِ م ر اهـ سم عِبَارَةُ الرَّشِيدِيِّ قَوْلُهُ مَعَ عِلْمِ الْأُخْرَى عِبَارَةُ غَيْرِهِ بِحَضْرَةِ الْأُخْرَى اهـ وَمِنْ الْغَيْرِ الْمُغْنِي.
[ابن حجر الهيتمي، تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي، ٤٤٣/٧]
Tentang kemakruhan jimak itu zhohirnya sebatas makruh tanzih, namun apabila ada indikasi lain yang negatif seperti membuat istri yang lainnya tersakiti, atau berpotensi melakukan kemungkaran seperti melihat aurat istri yang dijima’, maka hukum makruh jadi gugur dan berubah menjadi haram. Keharaman yang dilakukan suami itu, diperkuat oleh tashshih dari Imam Aladzro’I, beliau cenderung menganggap haram
Kesimpulan :
- Haram mengumpulkan beberapa istri dalam satu rumah, kecuali ada restu dari istri-istri yang lain.
- Makruh (Tanzih) menjima’ istri di hadapan istri yang lain, kecuali menurut kalangan ulama madzhab Maliki (haram).
- Haram menjima’ istri di hadapan istri yang lain apabila bertujuan menyakitinya dan saling melihat aurat antar satu sama lain dari beberapa istri.
- Istri tidak wajib memenuhi permintaan atau ajakan suaminya untuk melakukan hubungan intim di hadapan istri yang lain, dan penolakannya tidak dianggap nusyuz