TITIK TANDA BACA, TITIK TANDA HURUF DAN PEMBAGIAN JUZ, HIZB DAN RUBU’ DALAM MUSHAF AL-QUR’AN

  • Perkembangan Mushaf Pasca Utsman

Mushaf Utsmani memang telah menjadi patokan paten penulisan al-Qur’an, Mushaf ini terus terduplikasi di wilayahnya masing-masing dengan rasm yang sama persis, proses ini berlangsung selama kurang lebih 40 tahun, namun perkembangan penulisan al-Qur’an tidak hanya berhenti sampai di situ, akibat progress penyebaran agama Islam yang sangat pesat, baru terasa mushaf Utsmani ternyata belum cukup mampu menjangkau masyarakat non Arab disebabkan tanpa adanya titik dan harakat, mushaf  Utsmani tidak bisa dibaca oleh orang awam yang masih buta huruf Arab, tampakya sistem penulisan mushaf masih mencari-cari bentuk idealnya, kajian inilah yang jarang dikupas dalam buku-buku ulumul Qur’an, kalaupun ada, porsinya sangat minim, diantara ulama’ yang mempunyai kupasan cukup mendalam dalam masalah ini adalah al-Zurqany dan Musa Syahin Lasyin

  • Pembubuhan Titik Tanda Baca (Nuqthah al-I’râb)

Abu al-Aswad al-Du’aly (wafat th 69 H / 688 M.) diyakini sebagai orang pertama yang membubuhkan titik di mushaf sebagai tanda baca di setiap akhir kata (i’rab). Pada awalnya, Ziyad memintanya untuk membubuhkan tanda khusus demi menghindari lahn (salah baca) dalam membaca al-Qur’an, tapi ia menolak, namun tidak berselang lama, Ziyad membuat suatu siasat, dia menyuruh sesorang untuk berjalan di depan Abu al-Aswad dan membaca surat al-Taubah  ayat 3 tapi orang itu membaca kasrah huruf lam pada lafadz وَرَسُولُهُ, sontak Abu al-Aswad berkomentar, “Maha Mulia Allah! Tidak mungkin Dia berlepas diri dari Rasul-Nya.” Setelah itu dengan tanpa menunda-nunda, ia langsung datang kepada Ziyad dan merespon permintaanya untuk memberi tanda i’rab pada al-Qur’an.

Ia memilih seorang laki-laki dari Bani Qais sebagai asistennya, disela-sela membaca al-Qur’an, ia menginstruksikan asistennya untuk memberi tanda i’rab, “Jika fathah kasih titik di atasnya, jika kasrah kasih titik di bawahnya, jika dhammah kasih titik di sampingnya (depannya), dan jika ghunnah (tanwin) dikasih titik dua dengan memakai tinta yang warnanya berbeda dengan hurufnya ”Setelah selesai, ia mengecek kembali hasil pekerjaan asistennya itu.[1]

Murid-murid Abu al-Aswad kemudian mengembangkan beberapa variasi baru dalam penulisan tanda harakat tersebut, ada yang menulis tanda itu dengan bentuk kotak, ada yang menulisnya dengan bentuk lingkaran penuh atau lingkaran kosong ditengah. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudian menambahkan tanda sukun (menyerupai bentuk kantong air) dan tasydid (menyerupai bentuk busur) yang diletakkan di atas huruf. Semua tanda itu ditulis dengan tinta merah, setiap wilayah kemudian mempraktekkan sistem titik yang berbeda, beda halnya dengan sistem titik yang digunakan penduduk Makkah  berbeda dengan yang digunakan orang Irak, Madinah maupun Bashrah. Dalam hal ini, Bashrah lebih berkembang, hingga kemudian penduduk Madinah mengadopsi sistem mereka.

Namun usaha ini ternyata masih kurang maksimal, kesalahan baca masih marak terjadi dimana-mana, menyadari hal ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Hajjaj untuk mencari solusinya, dan pada tahun 80 H/ 699 M, ia menunjuk Nashr bin Ashim al-Laitsy  untuk menyempurnakan tanda baca versi Abu al-Aswad, Nashr kemudian melanjutkan usaha Abu al-Aswad, memberi harakat merata pada semua huruf tapi masih tetap dalam bentuk titik-titik.

  • Pembubuhan Titik Huruf (Nuqthah al-I’jâm)

Hanya sebatas titik tanda harakat ternyata dirasa belum cukup memudahkan umat Islam dalam membaca al-Qur’an. Huruf-huruf yang serupa tapi tak sama seperti ب، ت، ث، ن، ي juga perlu dibedakan. Maka dibentuklah komisi yang menangani masalah nuqthah al-i’jâm ini. Pembentukan komisi ini tak berselang lama setelah proyek pembubuhan titik untuk harakat selesai. Ada 2 orang yang dipercaya mengemban amanat ini: Nashr bin Ashim al-Laitsy dan Yahya bin Ya’mar al-‘Udwany.

Metode yang dipakai dalam proyek nuqthah al-i’jâm ini adalah al-ihmâl (membiarkan huruf tanpa titik) dan al-i’jâm (membubuhkan titik pada huruf). Al-ihmâl dipakai untuk huruf ح، د، ر، س، ص، ط،ع . Sementara al-i’jâm dipakai untuk huruf-hurufب، ت، ث، ج، خ، ذ، ز، ش، ض، ظ، غ، ف، ق، ن، ي. Metode ini jamak dipakai hampir di semua wilayah. Hanya saja ada perbedaan sedikit di wilayah barat (Maghrib), di sana huruf ف menggunakan satu titik di bawah dan huruf ق menggunakan satu titik di atas. Titik-titik ini ditulis dengan tinta yang warnanya sama dengan huruf, agar tidak terjadi keserupaan dengan titik-titik harakat yang umumnya berwarna merah

Metode ini terus bertahan hingga keruntuhan dinasti Umayyah dan bangkitnya dinasti Abbasiyyah pada tahun 132 H/750 M. Seni penulisan mushaf pun turut mewarnai perkembangan teks al-Qur’an. Di Madinah, huruf dan titiknya ditulis dengan tinta hitam, titik harakat ditulis dengan tinta merah dan hamzah ditulis dengan tinta kuning. Umat Islam di Andalusia menggunakan 4 warna: hitam untuk huruf dan titiknya, merah untuk harakat, kuning untuk hamzah dan hijau untuk hamzah washal. Sementara warna yang dipakai penduduk Irak hampir sama dengan Madinah. Tapi di beberapa mushaf tertentu, tanda i’rab rafa’, nashab dan jar ditulis dengan warna merah, hamzah biasa (tanpa tasydid) ditulis dengan tinta kuning dan hamzah bertasydid ditulis dengan tinta hijau.

  • Perubahan Titik Tanda Baca Menjadi Huruf

Adanya titik harakat dan titik huruf ternyata masih dirasa kurang efektif. Tiap huruf jadi kebanjiran titik. Meski warnanya sudah dibedakan, dikhawatirkan masih terjadi keserupaan antara keduanya. Maka dari itu, ulama saat itu sepakat untuk mengganti titik tanda baca menjadi huruf. Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidy dipercaya untuk mengemban amanah ini. Metode yang ia pakai adalah membubuhkan alif kecil terlentang di atas huruf untuk tanda fathah, huruf ya’ kecil di bawah untuk kasrah, wawu kecil di atas untuk dhammah dan mendobelkannya untuk menunjukkan tanwin. Tasydid diambil dari kepala huruf sin, hamzah diambil dari kepala huruf ‘ain, dan hamzah washal dibubuhi kepala shad, setidaknya ada 8 tanda yang sudah dibubuhkan al-Khalil. Dengan begitu, tubuh huruf, titik huruf dan harakat bisa ditulis dengan warna tinta yang sama.

  • Pembagian al-Qur’an berdasarkan Juz, Hizb, Rubu’

Pada mulanya, mushaf Utsmani bukan hanya tak disertai titik, tapi juga belum disertai pembagian juz, hizb, rubu’ bahkan tanpa nomor ayat. Pembagian-pembagian tersebut baru muncul pada era pemerintahan Bani Abbasiyah. Proses ini ternyata memerlukan waktu lebih dari setahun. Tak hanya melakukan pembagian per juz, tapi juga menulis nama juz, menghias pinggiran mushaf dengan berbagai corak, memberi nomor ayat dan juga memberi pemisah antara satu surat dengan surat yang lainnya.


[1] Al-A’zhamy, The History of The Qur’anic Text from Revelation to Compilation (Jakarta:Gema Insani Press) hal. 154-156.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top
%d blogger menyukai ini: