MENGUPAS TUNTAS AKAR ORIENTALISME, OKSIDENTALISME DAN ISLAM

Relasi Barat Dan Timur
Islam dan Barat kembali menyeruak pasca 11 september 2001, karena disinyalir peristiwa itu didalangi kelompok militan Islam. Relasi ini tidak hanya sekedar wacana tetapi menjadi realitas kehidupan yang menegangkan. Islam bagaikan monster bagi masyarakat barat karena akan mengancam setiap ruang dan waktu. Sementara bagi sebagian kalangan Islam, barat menjadi ancaman yang setiap saat akan menghantui kaum muslim di manapun berada. Apa dan siapa sebetulnya yang membuat Islam dan barat saling vis avis? Tampaknya inilah yang meski dicari factor-faktor pendukungnya. Dalam berbagai analisa intelektual orientalis, barat menjadikan Islam begitu negatif dan buruk, sehingga pencitraan ini menjadikan public image Islam di mata masyarakat barat. Beberapa pencitraan itu di antaranya :
1. Islam sebagai agama yang memutarbalikkan fakta kebenaran Yesus Kristus

2. Islam diajarkan dengan peperangan (ayat perang dan konsep darul-harb)

3. Islam lebih mengutamakan hawa nafsu seks

4. Muhammad adalah anti kristus
Menjelang abad 18 M ketika Turki Utsmani tidak lagi melakukan ekspanasi, orang barat mulai melakukan pendekatan ekonomi dengan melakukan perdagangan di pusat-pusat pelabuhan Islam. Pergaulan yang semakin intents dengan kaum muslimin mendorong untuk semakin mendalami tradisi keilmuan Islam. Kondisi ini menjadi cikal bakal tumbuhnya orientalisme yang sekarang kita kenal.
Di penghujung abad ke 20 dimulai dengan embargo minyak Iran era Ayatullah Khumaeni, kebangkitan Islam mulai digemborkan. Dan barat mulai memandang Islam sebagai musuh baru pasca keruntuhan komunisme di dunia. Di kalangan ilmuan intelektua, tesis Samuel Huntington yang memposisikan Islam sebagai ancaman bagi peradaban barat di dunia modern, mendapatkan respon yang beragam baik di kalangan barat maupun Islam. Mestinya tesis tersebut hingga kini tidak terbukti. Konflik atau benturan antar kelompok manusia tidak disebabkan oleh peradaban yang berbeda, tetapi lebih didasarkan atas etnis dan golongan yang berbeda meski dalam satu peradaban. Perbedaan peradaban terutama yang berkaitan dengan agama, tidak sepenuhnya menimbulkan benturan atau konflik, justru perbedaan dalam agama-agama bisa dicari benang merah antar pemeluk agama itu. Kecenderaungan ini meguat ketika masing-masing peradaban atau agama dihadapkan pada isu-isu universal seperti kerusakan lingkungan hidup, aborsi atau euthanasia.
Orientalisme yang mulai digugat oleh Edward Said dalam magnum opusnya Orientalism, sudah menjadi bacaan kita di lingkungan masyarakat muslim di Indonesia. Bahkan menurut Johan Hendrik Meuleman produk orientalisme telah memberikan wacana Islam progresif di sebagian kalangan umat Islam Indoensia.
Namun kita perlu waspada sebagaimana diingatkan oleh Edward Said bahwa orientalisme mempunyai tujuan tertentu, mengikuti kecenderungan tertentu, konteks histories, intelektual, hingga tujuan ekonomi tertentu. Tentunya kebanyakan orientalis adalah orang barat dan non-muslim, sehingga wajar apabila mempunyai agenda berbeda dengan kaum muslim yang secara praktis melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Konteks inilah yang kemudian disikapi secara ilmiah oleh Hasan Hanafi dengan bukunya Muqaddimah fi Ilm al-Istighrab, Oksidentalisme; Sikap Kita terhadap Tradisi Barat. Hanafi berkeyakinan bahwa orientalisme mempropagandakan Barat sebagai pusat “kebudayaan kosmopolit”. Bahkan pada akhirnya, menurut Hanafi, orientalisme dijadikan kedok belaka untuk melancarkan ekspansi kolonialisme Barat (Eropa) terhadap dunia Timur (Islam). Oleh karena itu tidak salah jika kalangan umat Islam mencurigai image orientalisme yang sangat ideologis.
Oksidentalisme ingin menuntut pembebasan diri dari cengkeraman kolonialisme orientalis. Oksidentalisme sebagaimana dikenalkan oleh Hanafi lebih bersih, objektif, dan netral dibandingkan dengan orientasi orientalisme. Oksidentalisme sekadar menuntut keseimbangan dalam kebudayaan, dalam kekuatan, yang selama ini memposisikan Barat sebagai pusat yang dominan. Oksidentalisme berharap mitos Barat yang dianggap sebagai satu-satunya representasi dunia dapat diakhiri dan sekaligus diruntuhkan. Selama ini kita dikungkung pemahaman semu bahwa barat adalah pusat kekuatan dunia, pusat ilmu pengetahuan, pusat gaya hidup, pusat ekonomi, pusat peradaban, dan karenanya menjadi sandaran peradaban lain. Namun perlu dicatat bahwa kajian oksidentalisme harus independent dan obyektif sesuai denga tujuan semula. Tidak adanya independensi dan obyektifitas akan membawa oksidentalisme padanan dari orientalisme yang bias dan hegemonic.
Dari paparan singkat ini kiranya dapat dimengerti bahwa dalam mengkaji relasi Islam dan barat sekarang ini baik kajian oreientalisme maupun oksidentalisme harus didasarkan pada obyektifitas dan idependensi. Menyamakan Islam dengan berbagai kegiatan kelompok radikal Islam yang identik dengan terorisme merupakan tindakan yang naif, karena generalisasi itu tidak tepat. Begitu juga menjeneralisir Barat dengan mengamati tindakan W Bush yang mengambil kebijakan ganda dalam menyelesaikan konflik dengan Iraq tidak dibenarkan.
Walhasil, dalam konteks relasi Islam dan Barat sekarang ini harus dijauhkan dari bias-bias ideologis, kultural, politik, dan agama. Adalah benar pernyataan Meuleman bahwa dalam melakukan kajian baik orientalisme maupun oksidentalisme agar terus dipelihara sikap empatik dan rendah hati kapan saja kita meneliti dan memberikan pendapat terhadap kelompok lain.
Pengaruh Pemikiran Orientalisme
Di Indonesia menurut saya ada sedikit ketakutan yang luar biasa terhadap kajian keislaman di luar mainstream, para akademisi maupun intelektual yang memiliki pandangan berbeda tentang permasalahan keagamaan akan mudah sekali di cap sebagai orang liberal, dan tentu dikaitkan dengan antek-antek barat. Nah, ini yang disebut sebagai orientalis masa sekarang di Indonesia. Selama ini umat islam percaya atas kebenaran ajarannya hanya bersifat dogmatis dan melihat islam sebagai barang jadi, dengan adanya kajian orientalis umat islam bisa melihat kajian ilmiah terhadap apa yang mereka yakini selama ini. Kontribusi orientalis lainnya adalah mempercepat kebangkitan islam, Dapatkah atau mungkinkah akar-akar kebangkitan Islam dilacak dari tradisi orientalisme? Salah satu wujud kebangkitan Islam adalah keterlibatan aktif umat Islam dalam memberikan jawaban-jawaban konseptual atas tantangan-tantangan perubahan sosial yang diakibatkan oleh proses modernisasi. Tidak ada cara lain dalam melakukan ini kecuali kaum intelektual Muslim berfikir keras menangkap makna universal Al-Qur’an dan secara dinamis mentafsirkan ayat-ayatnya agar relevan dengan situasi zaman yang bagaimanapun. Sehingga islam benar-benar menjadi agama untuk semua dan diterima semua meski dalam perbedaan.
Oksidentalisme Dalam Akar sejarah Khazanah Keilmuan
Apabila di telisik, menurut Hassan Hanafi akar oksidentalisme lebih lampau dari Revolusi Perancis, tapi sudah dimulai jauh sebelum itu, yaitu sejak lahirnya peradaban ego yang diwakili tradisi Islam selama empat belas abad atau lebih. Akar oksidentalisme dapat dilacak jika kita tahu hubungan kita (Timur) dengan Yunani di masa lalu. Yunani adalah bagian dari Barat baik ditinjau dari segi geografis, sejarah maupun peradabannya. Yunani dan Romawi merupakan sumber kesadaran Eropa. Sedangkan peradaban baru ego yang diwakili tradisi Islam kuno memiliki akar lain yang lebih tua di masa lampau, yaitu peradaban Timur kuno di Mesir, Kan’an, Asyuriah, Babilonia, Persia, India, Cina. Peradaban-peradaban tersebut adalah peradaban yang diwarisi Islam dan merepresentasikan peradaban ego-Islam baru. Sebagai sumber, peradaban-peradaban tersebut merupakan dimensi Timur peradaban baru ego dan evolusi tauhid dari agama-agama Cina sampai India, kemudian ke negara-negara antara sungai Kan’an dan Mesir. Begitu pula Yahudi-Kristen masuk dalam kategori akar peradaban baru ego dari Timur.
Dengan demikian akar oksidentalisme dapat dilacak dalam relasi peradaban Islam dengan peradaban Yunani. Ketika peradaban Islam berstatus sebagai pengkaji, ia mampu menjadikan peradaban Yunani sebagi obyek yang dikaji. Kemudian terjadilah dialektika yang benar antara ego dengan the other, ego sebagai subyek pengkaji dan the others sebagai obyek yang dikaji. Hal ini melalui beberapa fase sebagai berikut:
1. Fase transferensi (al-naql), dalam fase ini diberikan prioritas kepada “kata” sebagai perwujudan keinginan untuk memberikan perhatian kepada bahasa buku asli, yaitu bahasa Yunani, serta memberikan perhatian kepada munculnya istilah-istilah dalam filsafat.

2. Fase transferensi makna (al-naql al-ma’nawi), fase ini prioritas diberikan kepada “makna” sebagai manifestasi keinginan untuk memberikan perhatian kepada bahasa terjemahan, yaitu bahasa Arab, serta memulai karya filsafat tidak langsung.
3. Fase anotasi (al-syarkh), dalam fase ini prioritas diberikan untuk tema atau substansi, dan upaya mengungkapkan tema tersebut secara langsung dengan sedikit memasukkan redaksi orang lain ke dalam karya baru ini, serta memberikan perhatian kepada struktur dan pengungkapan tema itu sendiri.
4. Fase peringkasan (talkhish), yaitu mempelajari suatu tema dengan memfokuskan kajian pada inti tema tanpa melakukan perdebatan dan pembuktian; meminimalisir penyampaian tema tanpa melakukan penambahan atau pengurangan yang dapat mengakibatkan teks berubah menjadi substansi dan kata berubah menjadi tema.

Seiring dengan berjalannya waktu, ada beberapa hal penting yang bisa dijadikan perbandingan dan dasar oleh pemikiran:

  • Mengarang dalam lingkup kebudayaan pendatang dengan melakukan presentasi dan penyempurnaan, sehingga kata, makna serta tema dalam kebudayaan the other, dapat dibendung. Tema yang ada dapat dijadikan sebagai tema independen ego.
  • Mengarang dalam lingkup tema kebudayaan pendatang disamping tema tradisi ego. Disinilah potret ego menemukan kesempurnaannya dan kebudayaan the other dapat dipisahkan dari kebudayaan ego.
    Kritik terhadap kebudayaan pendatang dan menjelaskan lokalitas serta keterkaitannya dengan lingkungan.
  • Menolak total kebudayaan pendatang karena sudah tidak diperlukan lagi, dan kembali kepada teks ego yang masih mentah tanpa ada keinginan untuk sedikitpun atau merasionalkannya serta melakukan interaksi dengan kebudayaan lain.
  • Referensi :
    Johan Hendrik Meuleman, Orientalisme dan Kajian Islam di Indonesia, Jurnal Islamika, April-Juni 1994
    Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, Jakarta, Paramadina, 2000.
    WM. Watt, Muslim Christian Encounter, (London, 1991).
    A Azra, Pergolakan Politik Islam, (Jakarta, Paramadina, 1996).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top
%d blogger menyukai ini: